dunia esfand

Friday, November 10, 2006



Dan Kereta Itu
Muthia Esfand

sore itu semua nampak bersenyawa
entah ilalang entah padang
entah capung merah entah kambing jawa
dengan tenang sungai kecoklatan sebagai penjurunya


pematang itu tampak lain
tak ada bau-baunya damai
meski buliran padinya tetap emas
meski tongkol jagungnya tetap bonggol

dan kereta itu melintas
lengkap dengan percik-percik bunganya
yang serupa kembang api anak tetangga
mengalur saja tanpa nyawa
menyanyi saja tanpa nada

begitu menghilang di horison,
tak kembali lagi

meninggalkan sesayat pandangan
di pinggir pematang

Wednesday, November 08, 2006

Tuesday, November 07, 2006

CEMARA DALAM LEMARI
Muthia Esfand

“ Ara, dimana kamu!! kalau tidak bergegas kita bisa terlambat menghadiri resepsi pernikahan Om Romi.”
Gelegar suara Mami terdengar membahana memanggil namaku. Heran, bagaimana bisa mami bersuara sekeras itu seakan tebalnya dinding rumah megah ini tak mampu sedikitpun meredam lengkingannya. Aku tetap diam tak bergeming. Membatu bisu dalam sarang persembunyian yang hanya kuketahui seorang diri. Perlahan kudengar suara sepatu Mami ritmis mengetuk-ngetuk tangga berlantai marmer yang konon dipesan langsung dari Italia. Sungguh pemborosan yang tak masuk akal. Seperti biasa, selanjutnya pasti bunyi pintu kamarku yang dibuka kasar diiringi hujam teriakan Mami yang seperti sambaran petir.
“ Anak nakal, dimana kamu! Kali ini kamu harus mau ikut Mami! Kalau tidak wanita tua sialan itu pasti takkan henti-hentinya berkomentar miring tentangku. Apa dia kira hanya dia satu-satunya wanita yang bisa mendidik anak?! Ayolah, sayang…dimana kamu, Nak? please, bantu mami kali ini saja.”
Suara Mami terdengar semakin manis merayu, namun aku takkan tertipu lagi. Terakhir kali aku mau menunjukkan batang hidungku dari tempat persembunyiannku, hanya dera sapu lidi yang ternyata menjadi imbalannya.
“ Ara! Dasar anak tak tahu diuntung! Kamu sama saja dengan Ayahmu, tak pernah sedikitpun berterimakasih pada orang yang berjasa padanya. Baiklah, jangan harap bisa melihat dunia sampai besok pagi! Brakk..!”
Omelan panjang itu berakhir seperti biasanya, pintu yang dibanting keras dan kamar tidurku yang dikunci dari luar selama 24 jam. Entah untuk yang keberapa kalinya. Saking seringnya, aku sampai mempersiapkan secara khusus jika sewaktu-waktu aku kembali dikunci sehari semalam dalam kamar tidurku ini. Diam-diam kuletakkan sebuah kardus mie instant bekas di kolong tempat tidurku sebagai tempat menimbun berbagai biscuit dan permen yang secara sembunyi-sembunyi kucuri dari kantin sekolah.
Setelah yakin mendengar deru Volvo hitam Mami yang beranjak menjauh, aku keluar dari sarangku. Lemari besar dari jati berukir yang diletakkan di pojok kamarku, persis disebelah jendela yang juga dari kayu berukir dan besarnya hampir setinggi daun pintu lemari kayu tadi. Sebenarnya, bagiku tempat ini adalah semacam pintu gerbang. Pintu gerbang menuju dunia dan rumahku yang sebenarnya.
Aku memang tak pernah berminat ikut menghadiri pesta-pesta yang sering diadakan dan dikunjungi mami. Selain karena sebenarnya Mami memang enggan mengajakku, semua pesta mewah meriah itu seluruhnya penuh kepalsuan. Perempuan-perempuan yang memaksa diri berdandan anggun, para lelaki yang mati-matian bergaya bak eksekutif muda, pasangan suami-istri yang tak kalah keras berusaha tampil seakan rumah tangganya berjalan ibarat kisah romantis dalam dongeng : Dan mereka berdua akhirnya hidup bahagia selama-lamanya.
Mami terpaksa akan merayu mengajakku jika pesta itu berlangsung di rumah megah ini atau diadakan oleh salah satu anggota keluarga besarnya yang menurut cerita Ayah dulu masih keturunan semacam bangsawan kerajaan. Entah kerajaan mana, aku tak pernah berusaha mengingat-ingatnya. Selama pesta berlangsung, Mami tak henti-hentinya melempar senyum kesemua orang sambil tak lepas menggandeng tanganku kesana-kemari. Anehnya, Mami selalu menceritakan kebohongan demi kebohongan tentang diriku.
Anak saya ini IQ-nya melebihi rata-rata lho atau Seperti anak saya Cemara ini dong sekolahnya di sekolah internasional bahkan kadang-kadang Dia ini anak yang manis sekali sama sekali tidak nakal apalagi merepotkan.
Aku hanya diam sembari tak henti tersenyum, karena cuma dua hal itulah yang kata Mami boleh kulakukan jika diajak ke pesta. Namun diam-diam aku tak henti memuji, betapa hebat dan terdengar begitu original buaian kebohongan yang Mami hembuskan. Bahkan aku mulai berprasangka jangan-jangan sebenarnya ia seorang penulis naskah sinetron-sineteron bergaya picisan yang begitu menjamur di televisi, begitu picisannya sampai-sampai sulit untuk diketahui apakah sebenarnya sinetron itu visualisasi dari kenyataan hidup ataukah hidup itu sendiri adalah kisah sinetron yang digelar nyata? Mungkin salah satunya, atau kedua-duanya, bahkan tidak yang manapun.
Lemari besar dari jati berukir ini adalah tempat persembunyian yang sampai detik ini selalau menyelamatkan diriku dari incaran buas amarah dan perintah Mami. Kadang aku sampai tertawa sendiri, begitu ditutupi amarahkah mamiku sampai-sampai setiap kali ia mengacak-acak isi kamar sempit ini tak juga pernah ia berhasil menemukanku. Namun kurasa bukan karena itu, tetapi sebenarnya lemari ini adalah lemari ajaib semacam kantong ajaib milik Doraemon barangkali.
Entah sejak kapan semua keajaiban itu bermula, yang jelas pada suatu hari setelah kepergian Ayah tiba-tiba Mami marah besar karena aku menolak untuk makan malam satu meja dengan seorang pria yang entah siapa namun seolah begitu berarti bagi Mami. Itulah kali pertama aku bersembunyi dalam tumpukan baju tak beraturan di dalam lemari jati itu. Ketika suara bariton mami tak lagi meneriakkan makian dan hentakan, aku masih belum berani untuk keluar.
Saat itulah tiba-tiba kudengar suara-suara manis merayu dalam lemari itu. Awalnya suara-suara itu hanya mendongengkan kisah-kisah pangeran dan putri raja seperti yag biasa Ayah dongengkan untukku sebelum tidur, lama kelamaan di waktu yang lain suara-suara itu mulai mengajakku mengobrol, malah kadangkala juga membisikkan strategi baru untuk menghindari lemparan dan pukulan Mami. Pernah juga sih suara-suara itu mengajakku untuk tinggal selama-lamanya dalam lemari, dengan tambahan janji bahwa mereka akan selalu menjadi kawan baikku serta mengajakku ke dunia yang lebih indah tempat Ayah sekarang berada. Hampir saja aku mengangguk setuju, apalagi setelah tahu bahwa Ayah juga tinggal disana. Tetapi karena aku masih suka melihat matahari terbenam yang tampak jelas dari balik terali jendela kamarku maka kuputuskan untuk menolak tawaran mereka sementara waktu.
Matahari sudah lama terbenam. Rumah ini masih terdengar seolah tak berpenghuni, mungkin Mami dan lelaki itu belum pulang dari pesta Om Romi. Dingin mulai menusuk perlahan, padahal kamar ini satu-satunya ruang yang tidak dilengkapi mesin pendingin akan tetapi terasa lebih menyebarkan nuansa kebekuan.
Oh ya, sejak suara itu muncul untuk pertama kalinya aku juga memiliki kemahiran baru yang tak kalah dengan anak-anak klub drama di sekolahku yang baru, yang tidak pernah kusukai karena kesombongannya. Aku mulai pintar bermain sandiwara!
Kadangkala selepas mendapat konsekuensi – begitu istilah Mami untuk berbagai hukuman yang kuterima- berupa deraan atau cubitan, aku akan menangis tersedu-sedu di dalam kamarku namun sejurus kemudian tertawa terbahak-bahak bila mengingat ekspresi puas wajah Mami yang seolah mampu membuatku jera, kemudian menangis lagi bila rasa perih kembali menjalari. Dan biasanya diakhiri dengan endapan kemarahan yang menggigit dalam dadaku atau kadang cibiran sedikit menghina karena Mami tak mampu juga mengalahkanku yang masih kecil ini.
Volvo hitam milik Mami belum juga terdengar memasuki halaman rumah. Ah, ini kan malam minggu, pasti mereka tidak akan pulang sampai esok hari seperti malam minggu yang kemarin, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Apakah perasaannku saja ataukah memang benar bahwa langit malam ini terlihat berbeda dibandingkan biasanya. Terlihat lebih pekat, lebih gelap, sama sekali nihil cahaya.
Sambil duduk menjulur kaki di pinggi tempat tidur, kupandangi lemari kayu jati itu yang tepat berada di depanku. Kehangatan mulai merasuki.
” Ara rindu Ayah...”
Tanpa sadar ucap kerinduan keluar dari mulut kecilku. Kegelapan hamparan langit di luar sana sedikit demi sedikit mulai menggantikan warna cat tembok kamarku yang semula berwarna biru laut. Kaki kecilku perlahan berjalan menghampiri pintu lemari kayu itu. Sembari menggapai pintunya, aku teringat dongengan Ayah, teringat kelembutan Mami yang dahulu sering membuatkan puding coklat kesukaanku, teringat acara piknik ketempat wisata yang dahulu sering kami lakukan bertiga, teringat mobil kodok milik Ayah yang selalu sedia mengantarkan dan menjemputku dari sekolah.
Pintu lemari kubuka lebar, dengan mantab dan penuh keyakinan aku masuk ke dalamnya dan menutup kembali. Dengan posisi duduk memeluk lutut di sudut lemari perlahan mulai kutajamkan telingaku. Hanya kesunyian, tetapi tunggu dulu...ah, dengungan itu mulai terdengar semakin menguat ! Itulah tanda suara-suara itu mulai berdatangan. Aku ingin menagih janji mereka, yang dahulu sempat kutolak sementara. Kini aku telah siap, siap dibawa serta ke dunia tempat Ayah berada. Aku yakin akan janji mereka untuk selalu menjadi kawan baikku.
” Ayah, Ara datang. Sebentar lagi Ayah bisa mendongengkan kisah putri salju kesukaannku itu lagi...”

Yogyakarta,10/08/06

Cerpen

DIA ADALAH MALAM
Muthia Esfand

Entah kemana bulan sabit yang biasanya menempel di langit -seperti buah pisang raja matang di atas bentangan kain hitam-pada tanggal-tanggal seperti ini. Mungkin ia sedang merajuk, atau barangkali malah berebut tempat dengan bulan separuh dan bulan penuh. Yang jelas malam ini benar-benar malam seperti siratan makna katanya. Gelap, kelam, pekat, suasana dimana semua bayangan lenyap begitu saja.
” Menurutmu malam pekat seperti ini romantis tidak, Mas?
Yang ditanya ternyata tetap ingin seperti tampilan malam itu, sunyi. Sembari sesekali menyesap kopi Lampung oleh-oleh tetangga sebelah rumah yang baru pulang kampung, ia tetap saja membatu seolah toleran dengan hilangnya bulan. Namun kawan disebelahnya yang tadi meminta pendapat rupa-rupanya terlanjur terserang rasa gatal akibat penasaran. Maklum, kawan yang ditanya ini memang terkenal sebagai orang bijak di kampung situ.
”Mas Kamal, mbok ya dijawab sedikit. Apa enaknya diam-diaman begitu itu dari tadi. Wong yang ronda kan cuma kita berdua malam ini. Sampeyan tega membiarkan saya ngoceh sendiri tanpa teman? Lagipula apa ya ndak bosan sejak dari tadi diam dan minum terus? Nanti beser lho, Mas. Kamar mandinya kan jauh.
Rupanya ucapan terakhir dari kawan si pendiam itu cukup mujarab untuk memecahkan sunyi yang ada. Terbukti dengan senyuman diiringi tatapan geli yang dilemparkan si pendiam yang ternyata bernama Kamal itu pada temannya yang sejak tadi ia biarkan saja mengoceh sendiri.
” Maaf lho, Kang. Bukannya saya mau nyuekin, tetapi malam yang seperti ini memang selalu spesial buat saya. Beda dengan orang-orang kebanyakan yang malahan takut keluar rumah kalau malam pekat begini menjadi pengganti siang. Yang takut dedemitlah, yang takut kerampokanlah, malah ada juga yang takut kecelakaan karena gelapnya memang benar-benar gelap. Kalau dibuat perumpaan dengan gradasi warna, warna langit ini mungkin warna hitam tua, ya Kang?”
” Ah, mas Kamal ini bisa saja. Mana ada warna hitam tua. Hitam ya hitam. Btw ma...”
Lho, tiba-tiba Kamal memotong di tengah jalan ucapan kawannya itu, walau sebenarnya tinggal menyelesaikan satu huruf saja.
“ Sebentar, Kang. Btw itu apa? “
Oh, ternyata Kamal tidak mengerti arti singkatan BTW yang diucapkan temannya. Nampaknya si Kamal ini tidak begitu luas pergaulannya.
” Walah, Mas Kamal ini gimana...masa BTW aja tidak tahu. BTW itu singkatan dari : By The Way alias ngomong-ngomong dalam bahasa Indonesia. He..he..he saya juga cuma denger-denger waktu si Andi anak tetangga sebelah ngobrol sama teman-temannya.”
Sambil tertawa senang karena berhasil ngomong dengan bahasa yang lebih keren dibanding Kamal yang dikenal sebagai seorang pemuda bijak dan berbobot, kawan yang dipanggil Kang itu lantas memukul kentongan yang ada di depan pos ronda sebanyak satu kali. Sudah semakin larut nampaknya. Aneh, sekilas mata Kamal nampak sedikit membelalak sesaat setelah kentongan dipukul.
“ Ayo tho, Mas, dijawab pertanyaanku yang tadi itu. Romantis tidak?”
Hmm, agaknya kawan satu ini begitu penasaran dengan jawaban si Mas Kamal tentang romantis atau tidak malam yang gelap pekat itu.
“ Romantis bagaimana, wong gelap dan dingin begini. Mana nyamuknya juga banyak, ndak bisa dibiloang romantis yang begini ini. Romantis itu kan suasana yang bisa memberikan kedamaian, ketentraman jiwa dan ketenangan pikiran. Pokoknya suasana yang bisa melambungkan rasa dan akal, itu baru romantis. Memang kenapa sih, Kang, kok nanyanya seperti itu?” tukas Kamal panjang lebar yang berakhir dengan pertanyaan balasan.
“ Cuma kepingin tahu saja pendapat Mas Kamal, soalnya ehm..itu…si Ina pacarku yang anak desa sebelah itu selalu ngotot mengajak jalan-jalan keluar rumah jika malamnya seperti ini. Aku tidak tahu juga apa maksudnya, karena pikiranku sama seperti Mas Kamal tadi malam-malam gelap dan dingin ditambah gigitan nyamuk kelaparan kok ya bisa dianggap romantis. Keblinger film-film barat barangkali anak itu,” ujar kawan yang ditanya perihal alasannya bertanya seperti itu tadi.
Sesekali nampak kelebatan abu-abu kehitaman milik sayap Kalong yang tengah melintas di depan pos ronda yang menjadi tempat dua kawan itu berbincang. Dahsyatnya kemajuan dan perubahan di desa mereka ternyata tidak berpengaruh besar pada kawanan keluarga Kalong untuk tetap meramaikan desa itu. Namun nasib baik itu ternyata tidak menimpa semua kawanan binatang yang ada. Banyak dari jenis burung-burung pedesaan yang dahulu riuh mengitari pepohonan dan perumahan kini paling-paling tinggal burung Emprit saja.
Pos ronda itu terletak di batas jalan raya dan jalan masuk desa mereka. Biasanya tidak hanya dua orang yang berjaga, mungkin yang lain sedang sakit atau ada hajat. Arsitekturnya sederhana saja, khas desa-desa pinggiran, bangunan berpangung dari kayu beratap genting lengkap dengan sebuah kentongan yang barangkali memang wajib ada di setiap pos ronda desa manapun. Namun kentongan di desa ini lebih unik dan sedikit bercita-rasa etnis dibandingkan desa-desa tetangga. Berbentuk mirip bulan sabit dari kayu yang tidak pernah ditemukan di daerah sekitar situ, berlapis semacam kulit kerbau dan bersuara dung..dung..tok..tok..yang gemanya sampai sedikit mampir ke desa sebelah. Konon katanya kentongan bulan sabit itu sudah ada sejak pendatang pertama desa itu menetap.
Kamal kembali melayangkan pandangnya ke bentangan langit yang terlihat seolah tanpa batasan. Tiada yang tahu betapa langit serupa ini selalu mendenyut-denyutkan jantungnya. Campuran antara pilu, dendam, dan rindu. Tiada penduduk desa yang tahu sebenarnya darimana anak muda ini berasal. Semua hanya mengingat dua puluh tahun yang lalau Pak Harto, Lurah desa mereka, tiba-tiba mengangkat anak seorang bocah lelaki berusia lima tahun bernama Kamaludin. Pak lurah dan Bu lurah memang menutup rahasia masa lalunya dengan baik, bahkan dari dua anak kandungnya sendiri.
“ Oh ya, Mas, bulan depan insyaallah saya mau pergi merantau. Ada saudara yang menawari pekerjaan membantu-bantu di toko mebelnya yang sedang banyak orderan. Kebetulan aku ini kan keahliannya ya cuman yang berhubungan dengan mebel begitu itu,” ungkap kawan yang dipanggil Kang itu memecah kesunyianyang cukup lama melingkupi pos ronda itu.
“ Baguslah. Sayang juga kalau punya keahlian tetapi tidak dikembangkan terus. Siapa tahu nanti malah bisa mendirikan usaha mebel sendiri. Di kota mana memangnya, Kang? Setahu saya kalau usaha mebel yang terkenal ya dari kota Jepara, apa mau kesana?” Sahut Kamal sejurus kemudian.
“ Doain saja,Mas. Itu juga cita-citaku. Bukan Jepara, kebetulan saudaraku itu menikah dengan perempuan asli Jawa timur dan tinggal di sana membuka usahanya itu, “ Jawab kawan itu menanggapi.
Sesaat hati Kamal mencelos dingin begitu mendengar kata Jawa Timur disebutkan. Ingatannya sekejab menembus batas ruang dan waktu menuju masa dimana semua kehidupannya seolah berubah 180 derajat. Ingatannya dipaksa untuk kembali menampilkan rekaman kejadian yang menimpa keluarga yang begitu dirindukannya itu.
Malam saat kejadian yang telah lama berlalu itu persis sama pekat dan gelapnya. Kamal dan kakak perempuannya, Rodiyah, sudah lama terlelap di bale-bale kayu depan televisi hitam putih –satu-satunya barang yang paling berharga di rumah mereka- di ruang tengah. Sebenarnya Kamal belum benar-benar tidur, sesekali ia mencuri-curi pandang dari balik sarung hadiah sunatan ke arah Mak yang masih saja bergelung dengan anyaman tikar pandannya. Kamal ingin sekali membantu, tetapi ia tahu hal itu hanya akan membuat Mak marah dan kesal. Besok upacara bendera, jadi mereka harus bangun dan berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya. Sepertinya bapak belum pulang, mungkin dapat jatah ronda.
Orkes binatang malam sesaat diselingi dengan bunyi kentongan yang dipukul satu kali. Keriuhan kehidupan sudah lama berakhir, dihalau senyap yang perlahan merambat. Selain dingin yang menusuk, pekatnya malam yang seluruhnya tak berbintang menimbulkan keengganan jamak pada penduduk desa itu. Apalagi berita pembunuhan beberapa orang warga -yang diduga keras menjadi juru santet- di daerah Kabupaten tempat desa itu berada masih hangat-hangatnya menjadi headline Koran-koran lokal maupun nasional. Sudah menjadi rahasia bersama, memang, jika kota-kota di daerah Jawa Timur adalah surganya pemburu ilmu hitam dan berbagai jimat kesaktian, termasuk juga jasa para dukun santet yang tersedia dari harga teman hingga super deluxe. Tergantung resiko dan hasil yang diinginkan.
Kamal masih sesekali mengintip dari celah atas sarungnya, dan Mak masih terus menganyam tikar. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu, mungkin bapak. Setelah meletakkan anyaman tikar yang baru setengah jadi, Mak melangkah ke pintu depan. Bunyi derit menjadi pertanda pintu telah dibuka. Benar, bapak yang datang.
“ Anak-anak sudah tidur?” Tanya bapak sambil duduk di kursi depan televisi.
“ Sudah dari tadi “ jawab Mak sejurus kemudian sambil menyeduh teh panas untuk bapak.
“ Gentong besar di dapur ada isinya tidak, Mak?” tanya bapak lagi.
“ Kosong, pisang yang kemarin kuperam disitu sudah kujual tadi pagi. Mau dipakai ?” ujar Mak menjelaskan.
“ Tidak, cuma ingin tahu “ sahut bapak sambil menyalakan televisi yang hanya menampilkan sekumpulan semut.
Itulah kali terakhir Kamal mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Setelah itu tiba-tiba pintu menjeblak paksa, serombongan orang masuk mengacung-acungkan sabit dan parang sambil berteriak marah.
“ Tukang santet! hajar saja! bunuh!”
“ Bakar rumahnya! biar hangus semua jimatnya!”
“ Habisi saja, sebelum satu desa ini disantetnya!”
Teriakan dan geraman terus bertalu. Kamal hanya ingat tubuh kecilnya di gendong Mak dengan kasar menuju dapur. Disana tubuh mungilnya itu dimasukkan ke dalam gentong besar seukuran tubuhnya tempat biasanya Mak memeram pisang.
“ Diam disini, jangan bergerak dan bersuara! “ pesan terakhir Mak sebelum menutup gentong dengan tumpukan kayu bakar.

Pogung Lor, 21/08/06

ODE UNTUK SANG BOHEMIAN

Mengenang Penyair Ari Setya Ardhi

pagi itu amat jauh dari hari tatkala rumah bunga benar-benar tak lagi bisa kau diami

tempatku duduk bersandar terpaku pun amatlah jauh dari negeri dimana engkau mempertimbangkan kesunyian

bahkan tembang antar benua yang kau senandungkan lewat huluran kata-katamu pun tak pernah kudengarkan utuh,

walau selirih pun

pagi itu, lembar-lembar kisah dalam majalah sastra ibu kota yang berdendang padaku

tentang sang pelopor muda yang bijak merenungi senja

tentang sang maestro yang tiada mewariskan apa selain arif yang dilapis kata

warisan yang ternyata dengan magisnya menarik asaku turut serta bersama gumam-gumam yang terus mendengung dari manusia-manusia yang merasai arifmu

KEMBALI KE TANAH KELAHIRAN

Mengenang Ramadhan K.H

Malam di Berlin tak kan lagi membiru

karena pelukisnya tak lagi mampu menggenggam kuas kehidupan

Keluarga Permana pun tak lagi berinduk semang

karena peniup nafasnya tak lagi bisa menghirup aroma tanah kelahiran

dalam keremangan pelita negeri sang pujangga mengundurkan diri

disapu bahtera langit yang telah lama menanti

Priangan Si Jelita barangkali tak sempat juga merasakan lambaian terakhirmu

dalam keremangan pelita negeri engkau kembali ke pangkuan asal

ke pelukan asal

tak ada lagi yang menguak dunia

tak ada lagi yang mendongengkan kemelut hidup

tak ada lagi yang mengibarkan royan revolusi,

dan mengunjungi ladang perminus

hanya tinggal tiup angina

yang kan menghembuskan syahdu

tentang dongeng romansa kisah sang pujangga

TELAAH REFORMASI LEWAT TEORI BOURDIEU

TELAAH REFORMASI LEWAT TEORI BOURDIEU
Muthia Esfand

Dalam dunia sosiologi, nama Pierre Bourdieu nampaknya sudah tidak asing lagi. Sosiolog berdarah Perancis ini bahkan menjadi ikon gerakan anti globalisasi di negara asalnya. Salah satu pemikirannya yang cukup terkenal adalah teori habitus modal. Ada
Tiga aspek utama yang menjadi inti teori ini, habitus, modal, dan ranah. Habitus adalah sekian produk perilaku yang muncul dari berbagai pengalaman hidup manusia. Habitus bisa dikatakan akumulasi dari hasil kebiasaan dan adaptasi manusia, yang bahkan bisa muncul tanpa ia sadari. Modal adalah segala aspek kebutuhan yang harus dimiliki dan diusahakan oleh setiap manusia demi menjaga kelangsungan hidupnya, baik yang bersifat fisik maupun tidak. Sedangkan ranah adalah ruang dan kesempatan yang melingkupi kehidupan manusia. Bourdieu merumuskan teori praktik sosialnya tersebut dalam sebuah persamaan matematis, yaitu : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.
Praktik sosial merupakan akumulasi proses dari berbagai macam bentuk habits manusia, baik yang berupa pola pikir maupun tingkah laku. Habitus yang dikalikan dengan beragam modal yang dimilki, dalam suatu ranah tertentu akan menghasilkan produk berupa praktik sosial.
Menelaah sejarah reformasi kita tempo hari barangkali memang tidak ada habisnya. Bisa jadi karena reformasi menjadi satu diantara sekian momentum emas dalam sejarah bangsa ini. Momentum yang sedemikian cepatnya berubah menjadi catatan pilu sejarah. lagi-lagi rakyat hanya dibahagiakan sesaat, disemangati sesaat, dilambungkan impiannya sesaat. Ada banyak perspektif dan sudut pandang dalam menganalisis momentum reformasi yang telah berlalu itu. Satu hal yang masih menjadi pertanyaan besar adalah, apa yang salah dengan reformasi ?
Masa-masa menjelang digulirkannya reformasi menjadi saat-saat tak terlupakan bagi banyak kalangan di negeri ini. Mahasiswa dengan jaringan pro demokrasi dan perubahan segera, akademisi yang sudah jenuh dalam kepura-puraan, rakyat yang semakin merasakan penderitaan akibat depresi ekonomi yang semakin mencekik leher, bahkan politisi bunglon yang mulai sibuk memasang mata telinga agar terselamatkan. Semua kalangan mulai bergerak dan menganalisa, dan ketika mahasiswa akhirnya memutuskan bahwa saatnya telah tiba maka reformasi pun bergulir ke permukaan.
Siapa yang meyangka jika semangat perubahan yang puritan itu cepat sekali berlalu disapu arus kuat dari para hypocrite pembonceng reformasi. Beragam tuntutan terlupakan, berbagai peristiwa kriminal ditutup begitu saja. Seolah menyaksikan sequel film thriller di layar televisi, jika film sudah usai cukuplah dengan mengganti channel maka acara lain pun bisa dinikmati. Hilang tanpa bekas.
Bila dikontekskan dengan pemikiran Bourdieu, akan tampak bahwa permasalahan utama gagalnya reformasi terletak pada aspek habitus. Cengkeraman tirani selama lebih dari tiga dasawarsa ternyata begitu kuat dan efektif untuk membentuk pakem kepribadian masyarakat yang cenderung anti perubahan, koruptif, nepotis, bahkan introvert. Selama bertahun-tahun masyarakat ditekan untuk tidak menentang pemerintah sekecil apapun, dibiasakan untuk saling memberi suap dan upeti pelicin borokrasi, diajarkan untuk mengakui bahwa segala kondisi yang terjadi adalah ketentraman dan kedamaian. Berbagai penindasan, kekerasan, dan ketidakadilan ditutup rapat.
Habitus inilah yang paling mendominasi masyarakat Indonesia, sehingga ketika semangat dan gelora muda mahasiswa sebagai arus perubahan mulai menyuarakan pekik reformasi, sambutannya jauh panggang dari api. Bahkan ketika para inteletual akademiai dan politisi pun mulai mengambil bahgian, lagi-lagi habitus aslinya lebih dominan.
Modal yang dimilki saat itu memang belumlah maksimal, akan tetapi sudah sangat mencukupi untuk suatu gerakan perjuangan bersama. Pihak-pihak pendukung reformasi sudah sedemikian signifikan dan progresif, bahkan bisa jadi tinggal menyisakan pemerintah tiran beserta kroninya dan massa mengambang. Kondisi ini turut dilengkapi dengan adanya ruang dan waktu yang sangat mendukung, saat depresi ekonomi mulai menyadarkan masyarakat akan ketimpangan dan kebobrokan yang telah sekian lama menggerogoti bangsa ini.
Modal mencukupi, ranahpun tersedia. Hanya satu masalahnya, habitus pelakunya masih produk lama. Masalah tidak adanya habitus yang kuat ini ternyata menjadi masalah pokok juga sampai detik ini. Bisa kita lihat deretan kasus dan permasalahan seperti korupsi, mafia peradilan, dan lain sebagainya adalah imbas dari budaya yang terinternalisasi selama tiga dasawarsa lebih tersebut.
Menegaskan kembali identitas dan jati diri bangsa barangkali penting untuk segera dilakukan. Habitus yang negatif perlu untuk segera ditandingi dengan habitus asli bangsa ini yang pastinya jauh dari kategori menindas.

SENIMAN ADALAH INTELEKTUAL

SENIMAN ADALAH INTELEKTUAL
Muthia Esfand, S.S

Seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan (Sunan Drajat)

Ibarat makanan, kesenian dalam konteks masyarakat kebanyakan adalah sekedar camilan. Boleh ada namun juga tidak selalu harus tersedia. Hal ini bisa jadi dikarenakan minimnya pemahaman tentang arti dan nilai suatu bentuk karya seni bagi kehidupan manusia. Seni dianggap hanya sekedar pajangan pemanis ruangan, hiburan pelepas gundah, bahkan sekedar cara meningkatkan gengsi. Menurut Tisna Sanjaya – seorang seniman yang identik dengan media berupa performance art – di dalam karya seni terkandung nilai-nilai yang mampu menciptakan perubahan, meskipun secara tidak langsung, bahkan karya seni merupakan instrument penting dalam sebuah perubahan kebudayaan. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa seni juga mempunyai nilai penyadaran bagi masyarakat.
Ada sebuah penggambaran menarik mengenai hubungan aktivitas seni dengan dunia sosial-politik yang dituangkan oleh almarhum Kuntowijoyo dalam novelnya yang berjudul Mantra Penjinak Ular. Dalam novel tersebut beliau bercerita tentang seorang pegawai kantor Kecamatan, Abu Kasan Sapari, yang juga memilki bakat dan kemampuan dalam bidang seni utamanya seni wayang kulit. Pada suatu ketika Abu diminta untuk mendalang pada acara kampanye seorang calon lurah di sebuah desa dalam wilayah kecamatannya. Ia menerima saja tawaran itu karena menurutnya seni bisa ditampilkan kapan saja, biarlah penikmatnya yang menentukan sendiri amanat dan hikmat apa yang diperoleh darinya. Pada awalnya, kursi-kursi yang sudah disediakan oleh si Calon Lurah hanya diisi oleh kerabat dekatnya saja. Bukan, bukan karena wayang kulit tidak disukai oleh warga setempat, akan tetapi mereka takut mendatangi tempat pagelaran tersebut karena tidak mau dianggap penghianat oleh calon lurah lain dari kekuatan dominan Orde Baru yang jauh-jauh hari telah memberi uang persekot, semacam DP (down payment) sebelum memilih. Meski pada akhirnya kecintaan pada kesenian lebih mendominasi, dan pagelaran itu pun sukses dihadiri oleh hampir seluruh warga, namun naasnya hal itu berbuntut pemindahan Abu Kasan Sapari-sang dalang yang merangkap pegawai kecamatan-ke daerah lain karena dianggap menjadi penyebab kegagalan calon lurah dari kekuatan Orba. Semua itu masih ditambah dengan peringatan untuk tidak melibatkan seni dalam dunia politik praktis.
Citra seni di Indonesia memang tidak seputih kapas. Di masa silam ia pernah dilekatkan sebagai identitas partai terlarang, yang pada akhirnya berbuah limitasi aktivitas berkesenian. Seni juga seringkali dianggap sebagai aktivitas hura-hura yang jauh dari kesan ilmiah, intelektual, akademis, bahkan moralis. Hal ini bisa jadi karena adanya anggapan bahwa proses penciptaan suatu bentuk karya seni hanyalah proses perenungan semata, ibarat menanti ilham dari langit tanpa ada proses ilmiah dan intelektual disana. Banyak yang tidak mengetahui bahwa dalam menciptakan suatu karya seni, seorang seniman juga dituntut untuk melakukan proses-proses layaknya penelitian ilmiah. Mulai dari proses studi pustaka, menelaah realita sosial yang tengah terjadi, bereksperimen dalam menghasilkan nilai estetika yang tidak melulu sama, berkontemplasi agar kedalaman makna kehidupan juga tertuang dalam karyanya, sampai pada akhirnya merealisasikannya dalam bentuk karya nyata.
Ada dua kubu paradigma berkesenian, memang. Antara menjadikan seni sebagai ruang bebas nilai yang sepenuhnya sarat estetika tanpa campuran nilai kemanusiaan apa pun, dengan paradigma yang memposisikan seni sebagai bagian dari agent of change yang tidak sekedar menghibur, namun juga mencerahkan dan terlebih lagi mendorong kepada perubahan kehidupan masyarakat. Tidak ada yang benar atau pun salah, keduanya sah dan boleh-boleh saja. Ada pula yang focus menjadikan kesenian sebagai sarana perlawanan dan penyambung hidup, ada pula yang menjadikannya sebagai aktivitas kedua, itu pun tidak bermasalah nampaknya. Asalkan seni tetap bergulir sebagai bagian utuh pembentuk masyarakat, sama halnya dengan bagian-bagian lain seperti ekonomi, politik, teknologi. Meskipun demikian, tidak berarti seni bisa diwujudkan dalam bentuk apapun dengan alasan bebas nilai. Ia tetaplah harus memilki koridor-koridor tertentu layaknya jagad raya yang juga dilingkupi sekian hukum alam yang menjadi penyangga serta pelestarinya.
Sudah saatnya seni dipersepsikan sebagai bagian dari dunia ilmiah serta intelektual, dan bukan lagi sekedar nilai estetika yang bebas nilai. Para seniman yang muncul diluar ruang perkuliahan khusus seni barangkali memang mengemban tugas sebagai penyambung idealisme ini. Seperti ungkapan perupa Arahmaiani, “ Posisi seniman adalah penghubung dunia atas dan dunia bawah, menjadi mediator antara yang halus dan yang kasar, yang suci dan yang profane, atau antara peradaban dan alam, antara mimpi dan kenyataan. Seniman adalah intelektual, namun sekaligus orang biasa, seniman boleh bermimpi dan berkhayal namun bersamaan dengan itu dia harus menjejakkan kakinya di bumi.”

SEKEDAR JALAN MEMAHAMI DUNIA SEORANG PENGARANG

SEKEDAR JALAN MEMAHAMI DUNIA SEORANG PENGARANG
Muthia Esfand

Menurut saya, ada dua versi masa lalu Bourdieu : yang pertama adalah versi dongeng dimana ia merupakan seorang bocah petani yang berhadapan dengan peradaban urban, dan versi kedua, yang benar-benar ia renungkan secara lebih serius, adalah bagaimana rasanya menjadi seorang borjuis kecil dan sebuah kisah kesuksesan. Dan, semua obsesi akan bahasa orang lain, yaitu obsesi untuk menggunakan bahasa guna mendominasi dan menumpas dengan cara-cara yang irasional ini, barangkali juga merupakan pemikiran ulang terhadap pengalamannya sendiri.
(Nice, 1985)

Memahami dunia seorang pengarang memang bukanlah suatu hal yang mudah, ibarat menyingkap kabut yang menyelimut di pegunungan. Serasa mudah tetapi lain kenyataannya. Terlebih lagi memahami mengapa seorang pengarang akhirnya menghasilkan sebuah karya yang menjadi manifestasi kondisi kemanusiannya kala itu. Proses kelahiran sebuah karya oleh seorang pengarang pastilah beragam rupa asal mulanya, namun bisa jadi memilki pola proses yang sama.
Ada kalanya proses tersebut diawali dari ruang dan waktu yang membentuk suatu fenomena di hadapan sang pengarang, untuk kemudian dibawa dalam ruang pribadinya. Setelah bergumul dengan beragam unsur di dalam ruang tersebut, akhirnya fenomena tersebut mewujud dalam sebuah karya baru. Terkadang pula, pola tersebut bermula dari kekagetan seorang pengarang yang tiba-tiba menemukan ruang baru dalam alam pikiran dan jiwanya, kemudian setelah melalui proses pewujudan dari konsepsi abstrak menjadi realita akhirnya pun menjadi sebuah karya.
Selalu ingin tahu dan mencoba suatu hal yang baru pada hakikatnya merupakan ciri khas manusia. Setiap kali ia menemukan titik nol yang ternyata memilki kemungkinan untuk terus berkembang, maka ia akan terus berupaya mengikuti perkembangan tersebut sampai ke sudut tersempitnya tanpa batas akhir kepuasan mutlak. Kesemuanya karena ruang semesta manusia bukan hanya sebuah ruang kenyataan yang bersifat statis, namun juga dinamis. Berbagai pengalaman kehidupan tersebut menjadi persepsi-persepsi yang terserak-serak dalam ruang batin dan pikir manusia yang akan mampu digeneralisir sesuai kecenderungan masing-masing, dan akhirnya menjadi suatu konsepsi dasar kehidupan itu sendiri. Karena merupakan ciri khas manusia, normalnya ia akan terus menjadi pola dasar yang akan muncul dengan sendirinya dalam melihat setiap fenomena yang ada disekitarnya, akan tetapi kenyataannya tidak sepenuhnya demikian.
Bahwa kemanusiaan adalah satu (mankind is one) dan sama di mana-mana, adalah benar adanya. Akan tetapi, terkadang ekspresi cipta, rasa, dan karsa manusia lebih didominasi oleh pengalaman rasa individu ataupun kecenderungan ego pribadi, yang tentu saja seharusnya menggabungkan ketiga unsur tersebut. Siapapun bisa jadi akan sangat sulit beranjak dari segala internalisasi nilai yang membentuk pola pikirnya, di setiap proses penemuan jati dirinya, sehingga ia akan lebih cenderung mempersepsikan dan mempolarisasi sesuatu hal sesuai dengan konsepsi kebiasaaannya. Baik individual maupun komunal. Jikalau para ahli antropologi, sosiologi, dan psikologi yang mempelajari pola-pola kelakuakn manusia tidak lagi berbicara mengenai pola-pola kelakukan manusia (patterns of behaviour), melainkan mengenai pola tingkah laku (patterns of action) dari indiviu tersebut, maka tidak demikian halnya dengan memahami dunia seorang pengarang, karena memahami sorang pengarang pada hakikatnya memahami keseluruhan unsur yang melingkupi individu manusia itu sendiri.
Pemikiran Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis, tentang habitus sepertinya menarik untuk dicermati dalam memandang permasalahan ini. Pierre Felix Bourdieu (1 Agustus 1930 – 23 Januari 2002) adalah seorang pemikir Perancis yang terkemuka, dikenal sebagai seorang sosiolog, antropolog, bahkan aktivis pergerakan antiglobalisasi. Karya-karyanya sangat beragam, mulai dari etnografi, seni, sastra, pendidikan, bahasa, kultural, bahkan tentang televisi. Bourdieu merumuskan sebuah pola praktik yang dialami oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Pola yang menjadi hasil akhir dari sekian hal yang dimilki maupun terjadi pada fase kehidupan dari seorang individu, yang apabila ditarik gagasan umum terdiri dari tiga hal, yaitu : habitus, modal, dan ranah. Secara ringkas, rumus generatif yang digunakan Bourdieu dalam menerangkan praktik seorang individu adalah dengan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.
Menurutnya, Habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Habitus berarti pula struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Sedangkan ranah (field) diartikan sebagai jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memilki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Menurut Pierre Bourdieu pula, sebagai kelanjutan dari pemikirannya, habitus yang dikalikan dengan berbagai bentuk modal yang terdapat disekitarnya kemudian ditambahkan dengan ranah tertentu yang menjadi pilihan dalam mengaktualisasikan hidupnya maka akan menghasilkan suatu bentuk praktik sosial.
Seorang pengarang, dalam berproses menghadirkan sebuah karya pastilah tidak bisa terlepas dari proyeksi kehidupan pengarang itu. Meskipun dalam kondisi yang stabil, dalam artian sedang tidak terjadi tribulasi dalam kehidupannya, materi karya yang ditemukan maupun dimunculkan secara historis adalah hasil dari persamaan Bourdieu tersebut. Sebuah ide mungkin bisa muncul tiba-tiba, ketika sedang menikmati secangkir teh madu ataupun sepiring jamur goreng. Akan tetapi ketika ia mulai digabungkan dengan berbagai unsur tambahan lain, maka ia akan menjelma menjadi wujud lain pengarang tersebut. Material sebaru apapun, tidak akan bisa terlepas dari historis pengarangnya.
Namun, seperti ungkapan di permulaan tulisan ini, Memahami dunia seorang pengarang memang bukanlah suatu hal yang mudah, ibarat menyingkap kabut yang menyelimut di pegunungan. Serasa mudah tetapi lain kenyataannya.
Semoga kebaikan, datang dari segala arah.